Tidak terasa Yuly, Anthony, Amelie dan saya sudah kembali ke Houston, sejak Januari lalu. Berikut ini kami sharingkan kisah hidup di Perth yang seolah menjadi kampung halaman kami.
Perth adalah ibukota Western Australia, dan kota terbesar ke-empat di negara Kangguru ini. Kota berpenduduk sekitar 1.83 juta jiwa ini dibelah oleh Swan River, dijadikan koloni pada tahun 1829 oleh Kapten James Stirling. Koloni ini kemudian berkembang menjadi Perth di tahun 1856. Di sekeliling sungai banyak dijumpai angsa hitam yang menjadi lambang kota dan negara bagian ini.
Perth adalah pusat industri perminyakan dan pertambangan di Australia. BHP Billiton, Woodside,
Chevron, Rio Tinto berkantor pusat atau cabang di kota ini. Banyak expatriates (termasuk dari Amerika) yang bekerja di industri migas, misalnya Gorgon, proyek LNG terbesar di dunia.
Kami sekeluarga pindah ke kota ini setelah melewatkan 5 tahun di Houston dan Mexico. Proses adaptasi kami mudah, karena cuaca dan kondisi kota yang metropolitan. Penduduk, yang kebanyakan pendatang cukup ramah dan bersahabat.
Perth mempunyai cukup banyak tempat bagus yang bisa dikunjungi untuk melewatkan waktu luang. Termasuk di antaranya Scarborough Beach, Cottesloe Beach, Hillary’s dan tempat wisata lainnya seperti kota pelabuhan Fremantle, daerah bukit Mundaring di sebelah timur Perth, dan kawasan selatan: Western Australia seperti Margaret River, Yallingup, Dunsborough, Busselton dan Albany.
Karena alam dan cuaca nyaman, penduduk Australia aktif berolah raga seperti sepak bola, cricket, rugby, marathon, berenang, tennis dan lain-lain.
Alhasil prestasi Australia yang hanya berpenduduk 26 juta orang itu mempunyai prestasi cukup cemerlang di ajang kompetisi dunia seperti olympiade. Selama di Perth, kami menyempatkan diri untuk mengikuti berbagai kegiatan seperti Symphony by the park dan City-to-Surf yang adalah marathon/walk-a-thon massal ke pantai Cottesloe.
Teman-teman Indonesia cukup banyak, terutama dari kalangan umat Katolik yang tergabung dalam Western Australian Indonesian Catholic Community (WAICC). Jumlah umat terdaftar kurang lebih 750 orang (260 keluarga). Jumlah orang Indonesia atau keturunan Indonesia yang menetap dan studi di Perth hingga 35,000 orang. Perth diminati mungkin karena jarak yang relatif dekat ke Indonesia.
WAICC belum mempunyai gereja sendiri dan masih memakai sarana salah satu gereja setempat. Mengingat jumlah umat yang cukup banyak, Keuskupan Perth membantu mendatangkan seorang Pastor Indonesia dari ordo Carmelite untuk menjadi chaplain tetap WAICC untuk masa tugas tertentu.
Kami menyempatkan diri untuk menghadiri Misa dan kegiatan WAICC. Misa Indonesia diadakan setiap Minggu dan selalu dipenuhi umat. Koor mudika dan dewasa cukup aktif dan bagus. Organisasi yang tergabung misalnya Young Adult, Indonesian Catholic Youth Organization, Turrist Orationist Ministry (karismatik keluarga muda i) dan juga kelompok anak-anak. Beberapa event tahunan: Christmas party, bazaar HUT kemerdekaan RI, Ziarah bulan Maria, liburan family day, dan sebagainya.
Ketika pindah ke Perth (2007) kami mempnyai satu momongan (Anthony). Selama di Perth, kami
dikaruniai anak ke-dua yang lahir Februari tahun lalu. Kami bersyukur memperoleh dukungan dari teman-teman selama proses pemulihan persalinan Yuly, hingga pembaptisan Amelie pada Mei 2012.
Akhirnya kami memutuskan kembali ke Houston, kampung halaman ke-dua demi hidup yang lebih maju. Kenangan indah dari Perth dan Australia yang sudah menjadi tuan rumah yang baik (gracious host) akan selalu membara di hati kami.
Agus Tjengdrawira dan Yuly Kwenandar
Mantan Pengurus KKIH