Dari kisah di Taman Getsmani, Yesus memanjatkan doa-Nya dengan hati yang pilu, “Abba, Bapa, segala sesuatu adalah mungkin bagi-Mu; singkirkan cawan ini daripada-Ku; namun, bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu lah yang terjadi.”

Dalam suasana yang penuh penderitaan ini, Kristus berjuang dalam memutuskan apa yang menjadi kehendak Bapa-Nya. Kita diajak untuk merenungkan lebih mendalam tentang pengalaman Yesus dari Nasaret, tentang Bapa dan tentang diri kita sendiri.

Siapakah di antara kita yang belum pernah mengalami berada dalam situasi di mana segala sesuatu tampaknya serba tidak mungkin? Ketika peristiwa yang tidak bisa dihindari sekonyong-konyong terjadi dengan begitu dahsyat?

Siapakah di antara kita yang belum pernah berdoa kepada Bapa dengan mengucapkan, “Singkirkan cawan ini daripadaku”?

Pengalaman yang paling mencekam adalah ketika berada dalam situasi sulit yang kehadirannya sungguh tidak terelakkan. Rasanya seolah kita akan teregut nyawa kala keretaapi semakin dekat menerjang. Ketercenungan ketika menerima diagonase yang menakutkan dari dari dokter. Atau ketika diPHKkan dari pekerjaan. Kala sahabat terdekat meninggal dengan tiba-tiba. Ketika putus hubungan. Kita seolah berkata kepada diri sendiri, “Bagaimana mungkin hal ini terjadi.”

Lebih buruk daripada itu, situasi mencekam itu lalu berakibat panik, yang pada akhirnya membuat kita semakin sulit memahami “kehendak” Allah. Pada saat itulah kita rasanya tidak mampu dekat dengan Allah. Hanya kepanikan dan rasa takut saja yang rasanya rasional dalam benak kita.

Kala ayahku didiagnosa menderita kanker yang akan meregut hidupnya. Ketika saya diberitahu bahwa perawatan hanya barangkali memperpanjang hidupnya beberapa bulan saja. Seolah saya tidak dapat mempercayainya. Dalam benakku saya menolak “jangan, jangan, jangan,” sebab bukan hal semacam itu yang kuinginkan terjadi. Setiap orang (dewasa), tentu bisa memahami perasaan semacam ini.

Belum lama ini, ketika seorang sahabatku mendengar bahwa ayahnya menderita kanker yang tidak bisa disembuhkan dengan operasi, dia benar-benar merasa terpukul. “Saya tidak tahu bagaimana semuanya ini bermula,” demikian pengakuannya kepadaku.

Bahkan ketika dikonfrontasikan dengan situasi-situasi yang tidak mempengaruhi soal hidup-mati, kita kadang berdoa, “Singkirkan cawan ini daripadaku.” Penderitaan menahun juga dapat memukul kita misalnya ketika terkena penyakit katastropik, dan karenanya dapat menguji iman kita.

Ketika kita berada di tengah himpitan pekerjaan berat tanpa tahu persis kapan berakhir. Atau ketika kita merawat seseorang yang menderita penyakit kronik, dan kita tidak tahu sampai kapan kita bisa bertahan. Atau kala kita menerima hasil diagnosa medis yang meskipun tergolong kecil tetapi akan mengubah kebiasaan hidup.

Di saat-saat inilah kita seolah ingin berdoa, “Singkirkan cawan ini daripadaku.” Sekali lagi, rasa takut akan memperburuk keadaan yang membuat diri semakin tidak mampu membuat keputusan yang baik. Panik dapat melumpuhkan diri kita untuk bisa berpikir sehat atau berdoa.

Lalu bagaimana kita mengatasinya? Salah satu caranya yaitu merenungkan peristiwa Yesus di taman. Dia tidak menghindar dari kebenaran nyata yang sedang dihadapi-Nya. Dia tidak meremehkan rasa pilu diri-Nya dan juga pilu para murid-Nya. Seandainya saja kamu mengelak untuk berterus terang dengan sahabat atau mereka yang kau cintai kala timbul kegamangan di hatimu, cobalah amati apa yang dikatakan Yesus kepada para rasul di taman Getsmani: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.” Jelaslah perkataan ini bukan dari seorang yang sedang menyembunyikan perasaannya.

Yesus barangkali mengungkapkan seperti apa yang tertulis dalam Mazmur 42: “Sementara jiwaku gundah gulana.” Atau bisa jadi Dia sedang memikirkan kutipan dari Kitab Sirakh yang mengungkapkan perasaan dari seorang yang dikhianati: “Betapa sedihnya seperti hendak mati ketika seorang sahabat yang baik membalik menjadi musuh?”

Dalam tulisan tentang Kematian Mesias, seorang ahli Perjanjian Baru, Raymond Brown berpendapat bahwa seandainya Yesus mempunyai intuisi para sahabat-Nya menjadi penghianat dan mereka saling tercerai berai sesudah kematian-Nya, tentu hal ini membuat-Nya sangat prihatin. Tidak hanya karena ketakutan diri-Nya ditahan, namun juga keprihatinan mereka yang berbalik menjadi penghianat. Inilah yang membuat Yesus sangat sedih. Selanjutnya Brown menuliskan, semuanya ini membuat-Nya hendak mati.

Para Rasul bisa jadi juga tercekam ketika mendengar penyataan Sang Guru. Mereka pun menemukan dirinya sangat menderita. Bayangkan apa yang terjadi dalam diri mereka ketika mengetahui Yesus sangat dirudung kesedihan yang mendalam.

Mengungkapkan perasaan di kala mencekam tidaklah menandakan kelemahan diri tetapi sangat manusiawi dan sungguh rendah hati. Bahkan sikap ini mendekatkan para sahabat dan mereka yang mencintaimu. Di saat awal masa pelayanan-Nya, di tepi Sungai Yordan, Yesus memilih untuk antri, dengan sabar menunggu giliran untuk dibaptis, sekalipun diri-Nya bebas dari dosa dan tidak perlu dibasuh dari dosa.

Di Taman Getsmani, Yesus mengalami emosi manusiawi yang lengkap. Dia menyatakan kepada para Rasul dalam cara manusiawi. Bagi kita, mengungkapkan kesedihan dan ketakutan berarti membiarkan diri melepaskan kehendak untuk mengontrol. Hal ini juga berarti mengajak orang lain mencintai kita.

Yesus merasa butuh berdoa hingga tiga kali di Taman Getsemani sebelum akhirnya Dia memperoleh kedamaian hati. Kiranya kita terlalu cepat untuk berdoa “Hendaknya kehendak-Mu saja yang terjadi dan bukan kehendakku” sebelum kita memberi waktu secukupnya untuk mencecap perasaan dan mengungkapkannya kepada Allah. Atau kita merasa bersalah untuk memohon apa yang kita inginkan, atau harapkan agar terbebaskan dari sesuatu karena merasa doa-doa semacam itu hanya mengeluh melulu. Namun sesungguhnya pengungkapan sejujurnya gejolak emosi yang memilukan hati merupakan suatu proses wajar sebagaimana dialami oleh Yesus sendiri.

Yesus tidak mengakhiri doa-Nya hanya dengan meratapi perasaan-Nya saja. Dia mengakhirinya dengan mempercayakan kepada Allah, yaitu dengan menerima kehendak Bapa-Nya, bahkan di kala gundah dan kelam. Lalu “bagaimana sikap saya sebaiknya?” Hendaknya kita menjalin relasi yang mendalam dengan Abba.

Ajakan untuk menyerahkan diri, menerima piala kita, menerima sepenuhnya penderitaan yang tak tertanggungkan dan berani melangkah ke jalan pengorbanan, terjadi dalam konteks relasi dengan Allah.

Kita percaya bahwa Allah akan selalu menyertai kita dalam pekerjaan dan dalam penderitaan kita. Kita tidak lagi mudah menggertakkan gigi, mengepalkan tinju, maju sendiri tanpa merasa perlu bantuan.

Ada orang lain yang mendampingi kita, membantu kita. Gambaran lain yang sering dijumpai dalam Injil, yaitu bahwa ada orang lain bersama seperahu dengan kita, bersama mendayung, sekalipun kita tidak menyadarinya.

Penderitaan adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami. Barangkali sulit untuk dimengerti Yesus. Tentu saja sulit dipahami bagi para murid-Nya.

Sekalipun demikian mereka akan memahami sepenuhnya dalam tiga hari.

Cuplikan terjemahan karya Fr. James Martin SJ dalam buku berjudul “Jesus” yang baru saja terbit bulan lalu oleh Pak Fadjar Budhijanto.